Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 04 April 2013

fatin x-factor

preeeeertttt

politik menurut david easton dan Gabriel Almond

Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat.
Seperti telah dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.
Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input, proses, dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government). Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang berbeda karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti John Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap sistem politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan; (3) kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7) keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton, tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antar aktor di dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang dasar) suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses, dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di saat menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon oleh struktur output.
Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir secara holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai sebuah organisme hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output, dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input kemudian merespon dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar selama sistem politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap memiliki kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi dalam kerja struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki, kepala, perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang fungsi-fungsinya satu sama lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut.
Namun, pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis sistem politik di dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi, kapabilitas pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam kehidupan mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema besar sistem politik Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam negara.
Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton sebagai kerangka makro dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini diantaranya telah ditulis secara baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2]
Pendekatan Sistem Politik Easton
Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of Political Life.[3] Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953 (The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan negara.[4] Atas definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi logis berikut:[5]
Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk menghindari chaos politik; dan
Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.
Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political System, Easton mengembangkan empat asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand theory) sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan Chilcote menyebutkan terdiri atas:[6]
Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).
Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium (ketidakseimbangan).
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi. Dari kondisi chaos ini, ilmu pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti dapat melakukan klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar fakta secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan politik memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton memaksudkan teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan secara per se melainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam struktur output.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis data, psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas:[7]
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:[8]


Skema Kerja Sistem Politik Easton
Dalam gambar diatas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatifAlokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan, sembako), berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan umum, hubungan industrial), ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik (misalnya mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah sistem politik.
Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A System Analysis of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:[9]
Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan
Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkungan intrasocietal terdiri atas:[10]
Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic, teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial, bekas penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan
Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkungan extrasocietal terdiri atas:
Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak variannya.
Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.
Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga internasional.
Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus sistem politik berikut:



Model Arus Sistem Politik Easton
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan, baik intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari skema yang dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model arus sistem politik ini adalah Easton lebih merinci pada sistem politik pada hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis lingkungan, intrasocietal dan extrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan dan dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah dalam mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh negara (state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis kembali berlangsung.
Gabriel Abraham Almond dan Struktural Fungsional
Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik Easton. Namun, Almond kurang sreg dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak. Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian politik dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton meluncurkan karyanya The Political System tahun 1953 - Gabriel Abraham Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]
Di dalam tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956 Almond mengajukan tiga asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri atas:
Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah;
Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankannya; dan
Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya. Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada di wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton menghindari kajian atas struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.
Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal. Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti dengan persamaan dan penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca transisi.
Kecenderungan orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut budaya politik – juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu sendiri. Almond bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin populer dan luas digunakan para peneliti di dunia termasuk Indonesia. Khusus mengenai budaya politik, Almond menyatakan bahwa yang ia maksud dengannya adalah:[12]
Seperangkat orientasi politik yang bersifat subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau sub-sub masyarakat yang ada di dalam bangsa tersebut;
Budaya politik terdiri atas komponen-komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas politik), afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas nilai-nilai politik);
Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa kanak-kanak, pendidikan, terpaan media, dan akibat sentuhan pengalaman di masa dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan pemerintah; dan
Budaya politik berdampak atas struktur dan kinerja pemerintah, di mana dampak ini sifatnya lebih cenderung memaksa ketimbang otomatis menentukan struktur dan kinerja pemerintah.
Budaya politik di masing-masing individu sifatnya subyektif. Subyektivitas ini mendorong terdapatnya lebih dari satu macam budaya politik di dalam masyarakat suatu bangsa. Layaknya budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal), budaya politik masyarakat dalam satu negara sangat mungkin berbeda. Sebagian warganegara Indonesia di propinsi Papua tidak seluruhnya memiliki afeksi atas Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan hanya pada sistem politik lokal yaitu suku-suku atau klan di mana mereka menjadi anggota (komunitas politik lokal), pendukung Organisasi Papua Merdeka ataupun pro-integrasi.
Kembali pada masalah perkembangan pemikiran Gabriel Abraham Almond, bahwa dalam tahap selanjutnya, Almond – kini bersama James Coleman di dalam bukunya The Political of the Developing Areas yang terbit tahun 1963 – berusaha menghindari terjebaknya analisa sistem politik hanya pada kajian kontitusi ataupun lembaga politik formal. Almond (dan Coleman) kemudian mengarahkannya pada struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit politik dalam sistem politik. Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna menggantikan konsep power, sementara konsep struktur digunakannya untuk mengganti konsep lembaga politik formal.
Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki empat karakteristik yang bersifat universal. Keempat karakteristik ini berlaku di negara manapun dan terdiri atas premis-premis:[13]
Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik;
Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik;
Setiap struktur politik … bersifat multifungsi; dan
Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing).
Setelah mengajukan keempat premis tersebut, Almond memodifikasi struktur input serta output David Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas abstraknya Easton dalam menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem politik sebagai berikut:[14]
Fungsi Input terdiri atas:
Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
Artikulasi kepentingan. Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe: (a) Institutional; (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
Agregasi (pengelompokan) kepentingan. Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian, Competitif, dan Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
Komunikasi politik. Guna membanding pola komunitasi politik antar sistem politik, Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia; (2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus informasi yang berkembang (komunikator atau komunikan).
Fungsi output terdiri atas :
Pembuatan peraturan. Berdasarkan tuntutan dan dukungan serta aneka pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal, input berusaha diterjemahkan menjadi kebijaksanaan umum (policy).
Penerapan peraturan. Ketika policy sudah terbentuk, hal yang harus dilakukan adalah melakukan tindak administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah publik.
Pengawasan peraturan. Ada lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan menyelesaikan persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan.
Menurut Chilcote, setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond meringkas pola pikir sistem politiknya ke dalam skema berikut: [15]



Gambar 3 Diagram Sistem Politik Almond dan Level-level Fungsi
Di level fungsi input, sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi, lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam perkembangan pemikirannya kemudian, Almond memasukkan sosialisasi dan rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi. Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan tuntutan politik untuk melakukan tindakan.
Melalui skema di atas – masih menurut Chilcote – Almond membagi sistem politik ke dalam tiga level. Level pertama terdiri atas enam fungsi konversi yaitu: (1) artikulasi kepentingan (penyampaian tuntutan dan dukungan); (2) agregasi kepentingan (pengelompokan ataupun pengkombinasian aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan undang-undang); (3) komunikasi politik; (4) pembuatan peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5) pelaksanaan peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan peraturan (pengawasan jalannya penerapan undang-undang di kalangan warganegara).
Fungsi nomor satu hingga tiga berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang masuk melalui mekanisme input sementara fungsi nomor emapt hingga enam berada di sisi keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan atas tuntutan (demands) dan dukungan (support) yang dimaksud Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga aras penjelasan yaitu input, konversi, dan output.[16]
Tuntutan dan Dukungan
Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah yang kemudian diolah sistem politik menjadi keputusan. Tuntutan diciptakan oleh individu maupun kelompok yang memainkan peran tertentu di dalam sistem politik (baca: struktur input). Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya dampak yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal, yang variannya sebagai:[17]
Tuntutan atas komoditas dan pelayanan, misalnya jaminan sosial, kelancaran bertransportasi, kesempatan menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, pembangunan saluran irigasi, ataupun pelayanan birokrasi negara yang tidak berbelit. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi kepentingan (atau tuntutan). Output berlingkup pada kemampuan ekstraktif semisal pengenaan pajak untuk membiayai jaminan sosial, peningkatan retribusi kendaraan untuk membangun jalan-jalan layang, penaikan pajak perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pengundangan investor asing untuk membangun saluran irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil.
Tuntutan untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara seperti penertiban ormas-ormas parayudisial, pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau kompilasi hukum Islam ke dalam hukum publik. Konversi atas tuntutan ini berupa integrasi atau kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-undang (agregasi). Output berupa kemampuan regulatif yang mengatur perilaku individu, kelompok, ataupun warganegara secara keseluruhan.
Tuntutan untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti hak pilih, hak dipilih, mendirikan organisasi politik, melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan pejabat-pejabat publik. Konversi atas tuntutan ini adalah mengubah rancangan undang-undang menjadi peraturan yang lebih otoritatif. Output konversi misalnya kemampuan regulatif misalnya penetapan kuota caleg 30% perempuan dalam undang-undang pemilihan umum.
Tuntutan yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah atas suatu kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai simbol-simbol negara (lagu kebangsaan, lambang), ataupun upacara-upacara hari besar nasional. Konversi atas tuntutan jenis ini misalnya dibuatnya ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk penegasan sistem politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang dianut (di Indonesia adalah Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat negara atas isu-isu yang kontroversial dan menyita perhatian publik.
Jika tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi keputusan-keputusan politik, maka dukungan berkisar pada upaya mempertahankan atau menolak keberlakuan sebuah sistem politik. Tanpa dukungan sistem politik kehilangan legitimasi dan otoritasnya. Dukungan terdiri atas:[18]
Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak atau peran aktif mereka dalam program-program yang dicanangkan pemerintah (misalnya program kebersihan lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversi dukungan ini adalah ajudikasi peraturan di tingkat individu yaitu upaya penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah serta kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik memberi dukungan pada pemerintah.
Dukungan untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Konversi dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan ketaatan warganegara pada hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta lingkungan extrasocietal-nya.
Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi politik, ataupun mengadakan diskusi tentang politik.
Dukungan dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta simbol-simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana publik (alat transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah), menentang penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera merah putih yang terkotori debu dan hujan asam, mensosialisasikan peran vital Pancasila dalam mengikat integrasi nasional Indonesia.
Kapabilitas Sistem Politik
Level kedua dari aktivitas sistem politik terletak pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif.
Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.[19] Dalam hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya masyarakatnya.
Pemeliharaan Sistem Politik
Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance (pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat tempat di dalam analisis kehidupan politik suatu negara.[20]
[1] Kedelapan nilai ini diutarakan Harold D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2003) h. 33. Lasswell menyebut ke-8 nilai ini berkembang di Amerika Serikat modern. Untuk kondisi Indoesia seharusnya ditambah nilai-nilai kebudayaan lokal dan keagamaan.
[2] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Colorado: Westview Press, 1981) p. 145-82. Gagasan dan penjelasan penulis di dalam buku ini mendasarkan diri pada Chilcote ini.
[3] Ibid.
[4] Michael Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang Merkel, eds., The Future of Representative Democracy (New York: Cambridge University Press, 2011) P.80.
[5] Ibid., p. 80-3.
[6] Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.146.
[7] Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.147.
[8] Skema diambil dari Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.147.
[9] Ibid., p.148. Keterangan selanjutnya mengacu pada sumber ini.
[10] Ibid.
[11] Ibid. p. 145-50.
[12] Gabriel A. Almond, The Study of Political Culture dalam Dirk Berg-Schlosse and Ralf Rytlewski, eds., Political Culture in Germany (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993) p.15.
[13] Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p. 163.
[14] Jagdish Chandra Johari, Comparative Politics, 8th Edition (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 2008) p. 75-7.
[15] Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., h. 167
[16] J.C. Johari, Comparative ..., op.cit. p. 122-3. Penulis ini memuatnya ke dalam tabel, dan di buku ini diparafrase menjadi paragraf dengan tambahan seperlunya.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Herbert Victor Wiseman, Political Systems: Some Sociological Approaches (London: Routledge, 1966) p.157-8. Uraian mengenai kelima kemampuan sistem politik dalam buku ini mengikuti sumber ini.
[20] Bahasan atas pemeliharaan sistem politik, khususnya Rekrutmen Politik, akan dibahas secara luas pada bab-bab mendatang.

tags:
sistem politik menurut david easton gabriel almond fungsi sistem politik struktur sistem politik fungsi agregasi artikulasi kemampuan sistem politik

Selasa, 02 April 2013

welcome myblog

akhirrrrnyaaaaaaaa..........
selesai juga myblog saya,sempat mikir kenapa blog teman-teman saya begitu indah di pandang. terselip dalam banak pengen deh punya blog ! tapi jujur kemamouan belom memadai saya untuk terjun ke dunia blogger .hhhahhahahaha

tapi setelah lumayan belajar dan melihat blog-blog mereka yang ku anggap bagus ,aku akhirnya berani memberanikan diri untuk terjun kedunia blog.walaupun belom sebagus dan secanggih mereka-meraka. tapi percaya lambat laun saya bakalan memperbaiki blog saya yang asih sederhana ini.

di blog saya berusaha akan belajar menulis dengan pikiran yang ada diotak saya ,

konflik sampit makalah



Bab 1
pendahuluan
I.            Latar belakang
Konflik sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,karena telah terjadi bebrapa insiden sebelumnya antar warga dayak dan madura. Konflik besar terakhir terjadi antara desember 1996 dan januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk madura pertama tiba dikalimantan tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial  belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah indonesia. Tahun 2000,transmigrasi membentuk 21% populasi kalimantan tengah. Suku dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga madura yang semakin agresif .hukum-hukum baru telah ­memungkinkan warga madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial diprovinsi ini seperti perkayuan,penambangan dan perkebunan.ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah dipemukiman madura. Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang.Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.




II.          Rumusan masalah
1). Bagaimana sejarah masyarakat Sampit sampai menjelang timbulnya konflik tahun 2001?
2). Bagaimana konflik masyarakat Sampit tahun 2001?
3). Bagaimana dampak setelah  konflik Sampit tahun 2001 terhadap kehidupan masyarakat Sampit?

III.       Tujuan
Ada beberapa Tujuan dari makalah ini adalah  menjelaskan bagaimana situasi dn kondisi masyarakat sampit sebelum timbulnya konflik pada tahun 2001 ,dan menjelaskan bagaimana konflik masyarakat sampit pada tahun 2001 silam ?








BAB II
PEMBAHASAN
Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.  Pada tahun 2001, di kota ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi.
Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.
Meletusnya konflik komunal (communal conflict) yang. Konflik etnik di Sampit yang berkecamuk sejak hari Minggu, 18 Februari dinihari hingga awal Maret 2001 ini meledak begitu saja tanpa dapat diantisipasi oleh siapapun. Padahal dalam empat tahun terakhir ini kita sebetulnya secara beruntun telah berulang kali diterpa badai bencana yang sama di berbagai daerah Nusantara. Di daerah Kalimantan saja, sesungguhnya konflik komunal ini telah berkecamuk sejak tahun 1950-an. Kasus Sampit ini adalah yang ke 16 kali. Pada bulan Juli dan Desember tahun lalu juga kembali terjadi gejolak konflik yang sama di Kalimantan Tengah. Mengapa kita begitu terlambat untuk tidak mempersiapkan diri mengantisipasi kemungkinan datangnya bencana yang sama sampai keadaan telah terlanjur luluh-lantak demikian rupa, baru kita terkesiap, hilang keseimbangan dan tergagap-gagap tidak tahu harus berbuat apa ?
Ketidaksiapan kita sebagai pemerintah yang wajib memberikan jaminan keamanan kepada semua warganya ini lebih disebabkan oleh kelengahan/kelemahan institusional dalam memantau, menganalisis dinamika konflik lokal dan menyiapkan kerangka antisipasi dan penyelesaian yang komperhensif, serta kekurangpedulian serta kekurangpekaan para pemimpin atas permasalahan dan penderitaan rakyat di wilayah-wilayah yang rawan konflik. Proses pemisahan Polri dari TNI yang belum tuntas serta dimulainya proses desentralisasi dengan persiapan serba tanggung telah menyebabkan para pejabat (sipil dan militer) saling menunggu dan melempar tanggung-jawab satu kepada yang lain. TNI menunggu Polisi meminta bantuan, dan setali-tiga-uang, Pemerintah Pusat menunggu Pemda memohon pertolongan. Tidak muncul kesigapan pihak manapun yang bergerak atas dasar ketulusan kecintaan kepada anak Bangsa yang terkapar mengenaskan
Dikatakan kelengahan institusional karena kita ternyata sampai kini belum memiliki suatu Sistem Peringatan Dini yang mumpuni walaupun telah berulangkali diterpa badai konflik komunal yang sejenis. Sesungguhnya, Peta Konflik Komunal di Nusantara tercinta ini dapat dengan mudah dikenali dan dibuat. Lagipula, Anatomi Konflik Komunal itu juga memperagakan pola-dasar yang nyaris seragam di berbagai titik-panas yang telah sempat meletus. Disamping itu, secara institusional kita juga belum mampu menyuguhkan suatu Kerangka Penyelesaian yang cermat, komperhensif dan realistik untuk dilaksanakan. Cara penyelesaian yang diajukan selama ini selalu bersifat ad-hoc dan parsial. Lebih parah lagi cara-cara ad-hoc dan parsial inipun tidak dilaksanakan dengan komitmen dan kesungguhan yang berkesinambungan.
Peta konflik di Nusantara dalam sepuluh tahun terakhir ini kurang-lebih menyebar mengikuti garis pemisah Wallace (Wallace line). Jenis konflik Indonesia Barat yang terutama mencakup Sumatera, Jawa dan Bali lebih merupakan konflik vertikal, antara negara/aparat negara yang berhadapan dengan warga negara, seperti Aceh misalnya. Kalaupun, kelompok etnis tertentu terseret dalam konflik itu maka biasanya karena kelompok itu diyakini dekat dengan aparat negara yang korup, seperti kasus Bengkalis, Riau, baru-baru ini. Konflik yang bersifat vertikal ini cepat atau lambat pada akhirnya akan menjalar menjadi konflik horizontal antara kelompok etnis yang bersaing seperti dalam kasus Aceh, pendatang Jawa kemudian dimusuhi dan diusir oleh penduduk asli Aceh.
Langkanya konflik horizontal di Indonesia bagian Barat ini sangat erat hubungannya dengan mozaik konfigurasi komunal di sana. Hampir semua bagian wilayah ini, kecuali Sumatera Selatan, didiami oleh satu suku utama yang dominan, Aceh oleh orang Aceh, Sumut oleh Batak, Sumbar oleh orang Minang, Jawa Barat oleh Sunda, Jawa Tengah dan Timur oleh orang Jawa serta pulau Dewata oleh orang Bali. Tingkat homogenitas yang tinggi dan dominasi yang digenggam oleh satu suku utama ini mampu menjadi instrumen pencegah dan peredam yang ampuh. Lagipula secara relatif Indonesia Barat adalah wilayah yang lebih dulu terpapar terhadap pengaruh luar. Sejak berabad-abad mereka terbiasa bergaul, dalam bidang perdagangan, dengan pendatang minoritas yang sama sekali tidak membangkitkan rasa keteracaman di pihak penduduk asli yang dominan. Toleransi akan keanekaragaman sudah melekat secara alamiah baik dalam sistem budaya maupun dalam sikap dan tingkah laku warga Indonesia Barat.
Bentuk-bentuk Komflik Sampit
Keseluruhan permasalahan yang meletupkan konflik Sampit yang demikian bengis itu dapat dipilah-uraikan anatominya dalam empat (4) kelompok faktor utama, yaitu : (1) pola pemukiman yang berperan sebagai facilitating factor; (2) menyempitnya ruang-hidup (Lebensraum) penduduk asli yang merupakan inti permasalahan (core of the problem) dari struktur konflik komunal ini; (3) tergerusnya identitas-diri (self-identity) suku Dayak yang berperan sebagai faktor sumbu pencetus (fuse factor); dan (4) lembaga penegak hukum yang lumpuh akibat aparat yang korup yang berperan sebagai mekanisme penumpuk kekesalan (grudges) yang terus membukit terutama selama 32 tahun terakhir ini.
  1. Pola Pemukiman yang tersegregasi (segregated pattern of settlement).Seperti diketahui, pola pemukiman suku asli di daerah ped
esaan adalah pola pemukiman sub-suku (tribal pattern of settlement). Tiap sub suku Dayak mengklaim teritori tertentu dengan batas-batas yang jelas dengan teritori sub-suku lain. Penarikan batas yang jelas ini, di satu pihak, kedalam sesama warga berfungsi sebagai penegasan rasa ke-kita-an (sense of community) sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan untuk mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material well-being), di lain pihak, keluar, merupakan pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai.Pola pemukiman di pedesaan Kalimantan ini kemudian dibawa dan diterapkan oleh warga Dayak yang berpindah ke wilayah perkotaan. Mereka cenderung untuk mengelompok perumahannya dalam suatu wilayah/sudut kota tertentu. Pola pemukiman yang segregatif secara horizontal akan menjadi lahan konflik yang subur bila ia tumpang-tindih dengan segregasi kelas secara ekonomi. Di banyak kota di Kalimantan, khususnya Sampit, Keterbelahan horizontal memang benar-benar berhimpit dengan keterbelahan vertikal.
Keterbelahan vertikal ini mengambil bentuk dalam jenis-pekerjaan dan posisi-posisi strategis yang dikapling oleh suku-suku tertentu. Mayoritas warga suku Dayak adalah petani, sedangkan mayoritas suku-suku pendatang adalah di bidang non-pertanian. Sebagian besar dari posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan digenggam oleh suku-suku pendatang. Kalaupun ada satu dua warga Dayak yang menjadi Camat atau Bupati, keseluruhan sisa jabatan birokrasi yang ada dikuasai oleh suku-suku pendatang.
Pola bertempat tinggal yang segregatif ini yang kemudian berresonansi dengan pengkaplingan pekerjaan dan posisi-posisi strategis jelas menyekat suku asli dari suku-suku pendatang yang semakin mempertebal rasa ke-kita-an dan rasa ke-mereka-an di kedua belah pihak. Pada titik ini, yang terjadi tidak ketertutupan sosial (social closure) tapi juga ketertutupan ekonomi (economic closure). Bila hal yang terakhir ini terjadi, kekerasan struktural (structural violence) yaitu penutupan akses ke dan kontrol atas sumber daya strategis mulai terjadi.
Bila hal ini tidak segera dikoreksi maka lambat atau cepat structural violence akan melahirkan physical violence.
  1. Menyempitnya Ruang Kehidupan Suku Dayak. Ruang kehidupan dan mata pencaharian suku Dayak yang sangat terjalin erat hutan dan tanah terancam punah oleh kebijakan pemerintah Pusat Orba yang banyak memberi HPH kepada para konglomerat kroni. Tiga puluh tahun lalu, Kabupaten Kotawaringin Timur di mana Sampit berada, mempunyai 5 juta Ha hutan. Sekarang menyusut tinggal 2,7 juta Ha yang masih berbentuk hutan. Dari jumlah ini hanya 0,5 Ha yang ditetapkan sebagai hutan-lindung yang tidak boleh diolah oleh siapapun termasuk warga Dayak. Ada rencana untuk mengambil 2,7 juta Ha yang tersisa tersebut di atas untuk dijadikan perkebunan Negara. Bila pembabatan hutan, baik legal maupun yang illegal, terus berlangsung dengan kecepatan seperti sekarang ini maka diperkirakan seluruh hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur akan habis tak berbekas dalam 10 tahun yang akan datang. Bagian hutan yang diambil alih telah disulap menjadi tanah pertanian, perkebunan, semak-belukar serta pemukiman.
Ruang kehidupan yang semakin sempit terutama dirasakan oleh generasi muda Dayak yang masih harus membangun hidup mereka. Bila hutan dan lahan sistem perladangan mereka menjadi sempit, tentu saja mereka pindah ke daerah perkotaan. Kota Sampit dan Palangka Raya adalah kota-kota tujuan prioritas. Tapi dapatkah mereka bersaing dengan suku-suku pendatang di kedua kota itu ? Ternyata jawabnya adalah: tidak. Karena mereka tidak dilengkapi secara baik (ill-equipped) untuk kehidupan di daerah perkotaan dibandingkan dengan anak muda warga suku-suku pendatang. Mayoritas anak muda Dayak hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar. Mereka hanya bisa masuk ke sektor informal dengan mengandalkan kekuatan otot mereka. Pada saat yang sama, banyak layar televisi memamerkan iming-iming gaya hidup yang mewah dan berlimpah. Frustrasi secara perlahan-lahan tapi pasti mulai menggumpal di dada anak-anak muda Dayak. Merekalah yang terlihat bersorak-sorak di atas truk-truk merayakan dan memamerkan hasil pembantaian mereka atas suku Madura.
Ruang kehidupan dalam kota Sampit juga semakin tidak nyaman. Walaupun Sampit tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan kayu (resmi maupun tidak resmi), fasilitas umum kota sangat miskin. Listrik sering mati hidup, dan air bersih merupakan barang mewah. Selokan dan parit-parit kotor tidak terurus. Berbagai penyakit menular marak di mana-mana. Fasilitas kesehatan kalau tidak terjangkau jaraknya, ia juga tidak terjangkau harganya. Gedung sekolah dan sarana sekolah lain, apalagi buku pelajaran menjadi ajang lahan korupsi yang subur. Korupsi dipraktekkan di mana-mana termasuk Polisi yang sering menarik pungutan 10 % dari para turis.
  1. Tergerusnya Identitas Diri Suku Dayak. Bersamaan dengan hilangnya hutan Kalimantan, terikut juga proses tergerusnya identitas diri suku Dayak yang cara hidup (way of life) dan budayanya terjalin erat dengan eksistensi hutan. Dalam pertemuan dan interaksi dengan budaya luar, mereka selalu diposisikan dalam sikap defensif. Upaya untuk mengadopsi budaya luar yang berbasis non hutan dan non pertanian terlihat terlalu berat bagi mereka.
Identitas diri suku Dayak memang terus-menerus mengalami reformulasi dan redefinisi sejak persentuhannya dengan agama-agama dunia (Islam, Protestan dan Katholik). Demikian juga pada saat arus migrasi suku Melayu, Bugis dan Jawa datang ke wilayah Kalimantan sejak Abad 15. Pada saat awal, ketika persentuhan hanya terjadi di daerah pesisir pantai, dan karena itu tidak merambah wilayah hutan pedalaman, tradisi Dayak masih dapat bertahan karena hutan mereka tetap utuh. Tetapi setelah kedatangan transmigran yang menusuk langsung ke pedalaman dan setelah Orde Baru memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maka eksistensi tradisi dan budaya mulai perlahan-lahan tapi pasti tergerus seiring dengan bertumbangannya pohon-pohon Kalimantan. Hutan yang selama masa nenek-moyang mereka dipelihara dengan kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam hubungan bersahabat yang saling menguntungkan di ubah oleh pasar dunia menjadi sekedar komoditi diatas landasan falsafah instrumentalisme. Pohon-pohon Kalimantan tidak lebih dari sekedar instrumen pembangunan untuk menghasilkan devisa.











KESIMPULAN
Proses marginalisasi yang dialami suku Dayak, terutama generasi mudanya, akibat kebijakan ekonomi lingkungan yang merusak hutan Kalimantan, sumber jatidiri suku Dayak, menggiring suku Dayak pada posisi terpojok yang tak berdaya. Mereka tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan kekerasan struktural yang demikian sistematik dan dahsyat. Kemarahan terhadap kekerasan struktural itu kemudian diarahkan pada suku Madura yang karena tingkah-laku yang keras dan kasar dalam kehidupan keseharian menjadi personifikasi dari kekuatan abstrak struktural tersebut. Aparat penegak hukum, khususnya polisi, membuat “pengarahan amarah” pada suku Madura itu semakin mendapat pijakan empirik yang dihayati dengan penuh kebencian. Dalam situasi seperti ini, provokasi sekecil apapun akan langsung menyulut konflik komunal yang sangat bengis.

#SARAN !
Sebaiknya ada Paket rekomendasi yang diusulkan untuk menyelesaikan bencana Sampit dibagi dalam dua kategori. Pertama, kategori Langkah-Langkah Strategis antar waktu yang perlu diambil Pemerintah Pusat, dan kedua, Upaya-Upaya Berjangka waktu tertentu yang pada gilirannya dibedakan menurut jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
  • Langkah-Langkah Strategis Antar Waktu.
    1. Pemberhentian segera dari semua usaha perkayuan di seluruh Kalimantan.
    2. Penyetopan pemberian izin HPH dan izin pengalihan hutan menjadi perkebunan.
    3. Pengakuan terhadap Hak Ulayat Adat atas hutan dan tanah dari suku Dayak.
      Peninjauan kembali UU Agraria dan Kehutanan.
    4. Membentuk Komisi Nasional Hubungan Antar Etnik yang bertugas antara lain untuk memantau, menganalisis dinamika hubungan antar etnik dan bedasar analisis itu merekomendasikan upaya-upaya resolusi dan rekonsiliasi konflik komunal.
    5. Pembangunan Kepolisian Nasional secara sungguh-sungguh.
    6. Sistem Peringatan Dini seyogianya segera dimatangkan pembentukannya di bawah koordinasi Menko Polsoskam.



  • Upaya-Upaya Berjangka
    1. Jangka Pendek
      • Seruan kepada semua pihak untuk menghentikan pertikaian.
      • Penguatan satuan polisi lokal secara sungguh-sungguh. Bantuan TNI hanya bersifat sementara.
      • Pelibatan pemimpin akar-rumput dari kedua belah pihak untuk mengusahakan rekonsiliasi.
      • Meyakinkan Gubernur, para Bupati dan Camat di Kalimantan Tengah agar tidak mengambil jalan pintas memulangkan suku Madura ke pulau Madura. Karena cara ini dapat menyebarkan situasi konflik ke daerah lain, terutama Jawa Timur yang baru saja diguncang gejolak massa politik. Para pengungsi harus segera diupayakan pemulangan mereka berdasar KTP masing-masing. Wilayah RI adalah untuk semua anak bangsa.
      • Proses hukum terhadap mereka yang melakukan tindakan kriminal baik pada titik awal konflik maupun selama konflik agar segera dilakukan.

    1. Jangka Menengah
      • Membangun prasarana dasar di kota-kota Kalimantan Tengah seperti : Puskesmas, Air Bersih, Listrik dan perbaikan lingkungan permukiman perkotaan.
        Membangun pola-pola pemukiman alternatif terpadu (integrated pattern of settlement) yang mengacu pada kemampuan daya beli.
      • Memperbanyak dan memperbaiki fasilitas pendidikan sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan Tengah agar semakin banyak warga suku Dayak yang terdidik.
    2. Jangka Panjang
      • Mengupayakan terjadinya baik power sharing dan resource sharing antar berbagai suku di Kalimantan Tengah.
      • Waspada akan terjadinya proses marginalisasi di suatu wilayah tertentu.
      • Pemantapan tekad dan tindakan konkrit pemerintah dalam menegakkan hukum. Semua aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai dengan kehakiman perlu dibenahi dan dibangun dengan sungguh-sungguh.
      • Pemberantasan korupsi khususnya di kalangan aparat penegak hukum




DAFTAR PUSTAKA

SUMARNO , ASTRID SUSANTO,. “Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke-21”. Jakarta ; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan dan Kebudayaan..1998
FORTUNA, DEWI, “ Konflik Kekerasan Internal”. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2005
WWW. GOOGLE.COM